Felix Baumgartner Lolos dari 5 "Jebakan" Maut Ini
Astronesia-Felix Baumgartner berdiri
sendirian di tepian langit, di depan sebuah kapsul yang terdiam, di
ketinggian 39.068 meter dari permukaan Bumi. Di titik itu, ia merasa
begitu kecil, begitu tak berarti.
Kemudian, ia melompat, mengabaikan helmnya yang berkabut, tanda masalah. Selama 4 menit 20 detik lelaki pemberani asal Austria itu terjun bebas dengan kecepatan 1.342,8 kilometer per jam. Lompatan yang liar, dengan posisi terguling tak terkendali di lapisan tipis stratosfer. Posisi yang sungguh berbahaya, bisa merusak mata, otak, juga sistem kardiovaskular.
Jutaan orang di Bumi yang memantau aksinya baru menarik nafas lega, saat tubuh Baumgartner melayang stabil, disusul parasut yang membuka dengan sukses. Sorak sorai pun mengiringi pendaratannya yang mulus di gurun New Mexico, Amerika Serikat. Tangannya terangkat sebagai tanda kemenangan. Sang penerjun selamat.
Minggu 14 Oktober 2012 adalah hari milik Felix Baumgartner. Tiga rekor ia pecahkan sekaligus yaitu terjun bebas tertinggi di dunia (39.045 meter), terjun bebas tertinggi tanpa parasut (36.529 meter) dan kecepatan tertinggi selama terjun bebas (1.342 km/jam). Menjadi manusia pertama yang melebihi kecepatan suara tanpa bantuan alat.
Meski berakhir bahagia, Baumgartner saat itu sejatinya sedang bertaruh nyawa. Kesalahan sepele bisa berakibat malapetaka. Berikut adalah lima bahaya yang membayanginya saat melompat dari kapsul. Risiko maut yang berhasil ia hindari:
1. Putaran datar (flat spin)
Dalam tekanan udara rendah, para penerjun berisiko mengalami apa yang dinamakan "putaran datar". Di posisi ini, tubuh berputar secara horizontal seperti kerja piringan hitam. Putaran datar yang tidak terkendali bisa membuat Baumgartner tak sadarkan diri. Darahnya akan mengalir deras dengan ekstrem, termasuk ke bagian kepala. Ketika menggenang di mata, darah akan memicu kebutaan sementara. Risiko terburuk dari posisi ini, kekuatan putaran dan aliran darah deras ke kepala bisa menyebabkan pendarahan otak parah dan penggumpalan. Ini bisa berakibat fatal.
Kemudian, ia melompat, mengabaikan helmnya yang berkabut, tanda masalah. Selama 4 menit 20 detik lelaki pemberani asal Austria itu terjun bebas dengan kecepatan 1.342,8 kilometer per jam. Lompatan yang liar, dengan posisi terguling tak terkendali di lapisan tipis stratosfer. Posisi yang sungguh berbahaya, bisa merusak mata, otak, juga sistem kardiovaskular.
Jutaan orang di Bumi yang memantau aksinya baru menarik nafas lega, saat tubuh Baumgartner melayang stabil, disusul parasut yang membuka dengan sukses. Sorak sorai pun mengiringi pendaratannya yang mulus di gurun New Mexico, Amerika Serikat. Tangannya terangkat sebagai tanda kemenangan. Sang penerjun selamat.
Minggu 14 Oktober 2012 adalah hari milik Felix Baumgartner. Tiga rekor ia pecahkan sekaligus yaitu terjun bebas tertinggi di dunia (39.045 meter), terjun bebas tertinggi tanpa parasut (36.529 meter) dan kecepatan tertinggi selama terjun bebas (1.342 km/jam). Menjadi manusia pertama yang melebihi kecepatan suara tanpa bantuan alat.
Meski berakhir bahagia, Baumgartner saat itu sejatinya sedang bertaruh nyawa. Kesalahan sepele bisa berakibat malapetaka. Berikut adalah lima bahaya yang membayanginya saat melompat dari kapsul. Risiko maut yang berhasil ia hindari:
1. Putaran datar (flat spin)
Dalam tekanan udara rendah, para penerjun berisiko mengalami apa yang dinamakan "putaran datar". Di posisi ini, tubuh berputar secara horizontal seperti kerja piringan hitam. Putaran datar yang tidak terkendali bisa membuat Baumgartner tak sadarkan diri. Darahnya akan mengalir deras dengan ekstrem, termasuk ke bagian kepala. Ketika menggenang di mata, darah akan memicu kebutaan sementara. Risiko terburuk dari posisi ini, kekuatan putaran dan aliran darah deras ke kepala bisa menyebabkan pendarahan otak parah dan penggumpalan. Ini bisa berakibat fatal.
Pencegahan telah
dilakukan, parasut memanjang khusus bisa dikerahkan untuk
menstabilkannya. Meski detik-detik awal pasca lompatan ia sempat tak
terkendali, namun Baumgartner berhasil menstabilkan diri di lapisan
atmosfer lebih bawah yang lebih pekat.
2. "Darah mendidih"
Di lapisan stratosfer, di mana Baumgartner membuat lompatan, tekanan udara sangat tipis, hanya satu persen dari tekanan di permukaan Bumi.
Pada ketinggian di atas 19.200 meter, kurangnya tekanan bisa memicu pembentukan gelembung udara dalam darah, kondisi yang disebut "darah mendidih". Gelembung yang relatif besar cukup kuat untuk menghentikan aliran darah di arteri utama, ini saja sudah fatal. Ditambah lagi dengan potensi dekompresi mendadak yang bisa merusak paru-parunya.
Perubahan tekanan tiba-tiba juga membuat tubuh bengkak dalam hitungan detik. Seperti yang terjadi saat pemegang rekor sebelumnya, Kapten Joseph W. Kittinger Jr terjun dari ketinggian 31.133 meter. Kegagalan di sarung tangannya, membuat tangannya membengkak dua kali ukuran normal.
Tim Red Bull Stratos mengantisipasinya dengan pakaian khusus dan helm mirip astronot untuk melindunginya saat jatuh. Tim medis juga disiapkan jikalau Baumgartner turund mendarat dalam kondisi kritis.
2. "Darah mendidih"
Di lapisan stratosfer, di mana Baumgartner membuat lompatan, tekanan udara sangat tipis, hanya satu persen dari tekanan di permukaan Bumi.
Pada ketinggian di atas 19.200 meter, kurangnya tekanan bisa memicu pembentukan gelembung udara dalam darah, kondisi yang disebut "darah mendidih". Gelembung yang relatif besar cukup kuat untuk menghentikan aliran darah di arteri utama, ini saja sudah fatal. Ditambah lagi dengan potensi dekompresi mendadak yang bisa merusak paru-parunya.
Perubahan tekanan tiba-tiba juga membuat tubuh bengkak dalam hitungan detik. Seperti yang terjadi saat pemegang rekor sebelumnya, Kapten Joseph W. Kittinger Jr terjun dari ketinggian 31.133 meter. Kegagalan di sarung tangannya, membuat tangannya membengkak dua kali ukuran normal.
Tim Red Bull Stratos mengantisipasinya dengan pakaian khusus dan helm mirip astronot untuk melindunginya saat jatuh. Tim medis juga disiapkan jikalau Baumgartner turund mendarat dalam kondisi kritis.
Namun tangan terkepal ke atas Sang Penerjun, membuktikan apa yang dikhawatirkan tak terjadi.
3. Membeku di udara
Bagian atas atmosfer adalah wilayah yang sangat dingin. Tim Red Bull Stratos memperkirakan Baumgartner melangkah dari kapsul dalam kondisi -23 derajat Celcius. Saat terjun, ia akan berada dalam suhu -56 derajat Celcius atau bahkan lebih rendah.
Di suhu sedingin itu, tubuh Baumgartner berpotensi tak bisa mempertahankan suhu tubuh rata-rata 37 derajat Celsius. Jika suhu tubuhnya merosot jadi 28 derajat Celsius, ia bisa pingsan. Yang lebih fatal jika suhu tubuhnya lebih rendah dari 21 derajat Celsius, nyawanya bisa melayang. Jadi tim mempersiapkan pakaian khusus yang memberinya perlindungan dari suhu minimal -68 derajat Celcius.
Sebelum melompat, tim sempat akan membatalkan misi ketika ditemukan uap dalam helm Baumgartner, bukti sistem pemanasan di helm gagal. Namun lelaki pemberani itu tetap nekat melompat. Untung kesalahan di bagian helm tidak berakibat fatal.
4. Gelombang kejut
Saat tubuh Baumgartner mendekati kecepatan suara, ia akan berhadapan dengan kekuatan serius. Salah satunya dengan sonic boom atau ledakan sonik. Itu berpotensi membahayakan penerjun. Namun sejak awal tim Red Bull Stratos optimistis, udara tipis adalah keuntungan buat Baumgartner.
Dan benar saja, Baumgartner bahkan tak menyadarinya. "Aku tidak merasakan ledakan sonik, karena sibuk berusaha menstabilkan diriku," kata Baumgartner usai mendarat. Meski ia mengakui, "ini lebih sulit daripada yang kubayangkan."
5. Jatuh menghujam bumi
Melompat dari ketinggian dan dengan kecepatan luar biasa, bisa saja Baumgartner lupa membuka parasut, atau terlambat. Yang bisa membuatnya jatuh dengan mengerikan. Tim telah mempersiapkan risiko ini. Dengan menyiagakan parasut darurat yang bisa membuka secara otomatis, jika Baumgartner tak sadarkan diri karena aksi nekatnya itu.
Namun kekhawatiran itu tak terjadi. Dalam kondisi sadar, Baumgartner membuka parasutnya di ketinggian satu mil di atas tanah. Ia akhirnya mendarat dengan mulus, dalam posisi berdiri nyaris tegak. Akhirnya doanya terkabul: bisa pulang. "Di ketinggian, bukan lagi soal memecahkan rekor, bukan tentang mengumpulkan data ilmiah. Tapi perasaan ingin pulang."
3. Membeku di udara
Bagian atas atmosfer adalah wilayah yang sangat dingin. Tim Red Bull Stratos memperkirakan Baumgartner melangkah dari kapsul dalam kondisi -23 derajat Celcius. Saat terjun, ia akan berada dalam suhu -56 derajat Celcius atau bahkan lebih rendah.
Di suhu sedingin itu, tubuh Baumgartner berpotensi tak bisa mempertahankan suhu tubuh rata-rata 37 derajat Celsius. Jika suhu tubuhnya merosot jadi 28 derajat Celsius, ia bisa pingsan. Yang lebih fatal jika suhu tubuhnya lebih rendah dari 21 derajat Celsius, nyawanya bisa melayang. Jadi tim mempersiapkan pakaian khusus yang memberinya perlindungan dari suhu minimal -68 derajat Celcius.
Sebelum melompat, tim sempat akan membatalkan misi ketika ditemukan uap dalam helm Baumgartner, bukti sistem pemanasan di helm gagal. Namun lelaki pemberani itu tetap nekat melompat. Untung kesalahan di bagian helm tidak berakibat fatal.
4. Gelombang kejut
Saat tubuh Baumgartner mendekati kecepatan suara, ia akan berhadapan dengan kekuatan serius. Salah satunya dengan sonic boom atau ledakan sonik. Itu berpotensi membahayakan penerjun. Namun sejak awal tim Red Bull Stratos optimistis, udara tipis adalah keuntungan buat Baumgartner.
Dan benar saja, Baumgartner bahkan tak menyadarinya. "Aku tidak merasakan ledakan sonik, karena sibuk berusaha menstabilkan diriku," kata Baumgartner usai mendarat. Meski ia mengakui, "ini lebih sulit daripada yang kubayangkan."
5. Jatuh menghujam bumi
Melompat dari ketinggian dan dengan kecepatan luar biasa, bisa saja Baumgartner lupa membuka parasut, atau terlambat. Yang bisa membuatnya jatuh dengan mengerikan. Tim telah mempersiapkan risiko ini. Dengan menyiagakan parasut darurat yang bisa membuka secara otomatis, jika Baumgartner tak sadarkan diri karena aksi nekatnya itu.
Namun kekhawatiran itu tak terjadi. Dalam kondisi sadar, Baumgartner membuka parasutnya di ketinggian satu mil di atas tanah. Ia akhirnya mendarat dengan mulus, dalam posisi berdiri nyaris tegak. Akhirnya doanya terkabul: bisa pulang. "Di ketinggian, bukan lagi soal memecahkan rekor, bukan tentang mengumpulkan data ilmiah. Tapi perasaan ingin pulang."
Sumber: LiveScience
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan editorial redaksi Astronesia. Redaksi berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.