Ancaman Bencana dari Antariksa
Astronesia-Pada saat warga dunia mengkhawatirkan dampak melintasnya asteroid 2012
DA14 pada jarak terdekatnya dengan Bumi, Sabtu (16/2/2013) dini hari,
sebuah meteor menghantam wilayah Chelyabinsk, Rusia, Jumat (15/2/2013)
pagi. Sekitar 1.200 orang luka dan kaca jendela lebih dari 4.000
bangunan hancur.
Jatuhnya meteor berbobot 10.000 ton (lebih dari muatan 1.000 truk) itu di luar perkiraan. Meski sejumlah lembaga penerbangan dan antariksa memiliki program patroli langit untuk memantau benda-benda asing yang berpotensi membahayakan Bumi, masuknya batuan antariksa berukuran 17 meter itu sulit dideteksi.
”Obyek berukuran belasan meter biasanya baru terdeteksi setelah mendekati Bumi. Ukurannya yang sangat kecil membuatnya sangat redup,” kata Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Minggu (17/2/2013). Kalaupun teridentifikasi, biasanya karena kebetulan.
Dosen Dinamika Benda Kecil dalam Tata Surya, Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Dermawan menambahkan, teleskop yang digunakan untuk patroli langit biasanya berdiameter 1-2 meter. Melalui teleskop sebesar itu, kemampuan mendeteksi benda berukuran belasan meter sangat sulit.
Meski demikian, para ahli memastikan meteor yang jatuh di Chelyabinsk dan asteroid 2012 DA14 adalah dua benda langit berbeda. Meteor di Chelyabinsk bukan pecahan asteroid 2012 DA14.
Jalur orbit kedua benda itu berbeda. Asteroid 2012 DA14 bergerak dari langit selatan ke langit utara atau dari bawah Bumi ke bagian atas Bumi. Adapun, lintasan meteor pada permukaan Bumi dari langit utara ke selatan. ”Jika meteor di Chelyabinsk adalah pecahan asteroid 2012 DA14, lintasannya harus sama,” ujar Djamaluddin.
Selain itu, jatuhnya pecahan asteroid harus sesudah asteroid itu melintas di dekat Bumi. Tidak mungkin pecahan jatuh lebih mendahului asteroid induknya.
Melimpah
Dibandingkan dengan asteroid 2012 DA14 yang berdiameter 45 meter, ukuran meteor yang jatuh di Rusia hanya kurang dari sepertiganya.
Meteor ukuran serupa pernah jatuh di langit Bone, Sulawesi Selatan, 8 Oktober 2009. ”Namun, meteor ini jatuh di laut (Teluk Bone),” kata Peter Brown, Direktur Pusat Sains dan Eksplorasi Keplanetan, Universitas Ontario Barat, Kanada seperti dikutip Space.com, Sabtu (16/2/2013).
Tak ada data pasti berapa banyak asteroid di sekitar Bumi yang berpotensi mengancam kehidupan di Bumi. Makin kecil ukurannya, jumlahnya makin besar dan makin banyak yang tidak diketahui.
Djamaluddin memperkirakan, jumlah batuan angkasa berukuran belasan meter mencapai jutaan buah. Kemungkinan batu ukuran ini melintas dekat Bumi dan masuk atmosfer Bumi, sangat tinggi.
Sementara itu, asteroid berukuran 40-50 meter seperti yang jatuh di Tunguska, Siberia, Rusia, pada 30 Juni 1908, jumlahnya mencapai ratusan ribu buah. Kemungkinan melintas dekat Bumi sekitar 40 tahun sekali dan kemungkinan menumbuk Bumi 1.200 tahun sekali.
Asteroid berukuran lebih dari 1 kilometer, sebanyak 90-95 persennya sudah diketahui keberadaannya. Adapun asteroid berdiameter puluhan meter hanya sekitar 2 persen yang sudah diketahui.
Relatif aman
Bahan dasar meteor adalah batuan di sekitar Bumi yang berasal dari asteroid, komet, ataupun pecahan keduanya. Benda-benda langit itu merupakan materi sisa-sisa pembentukan tata surya 4,5 miliar tahun yang lalu. Bersama Bumi, batuan tersebut bergerak mengelilingi Matahari.
Walau jumlah batuan, asteroid, komet atau pecahannya melimpah, tak selalu terjerat gaya gravitasi Bumi hingga masuk ke atmosfer Bumi. Salah satu pencegah sehingga benda tersebut tidak jatuh ke Bumi adalah kecepatan geraknya.
Budi menambahkan, ukuran batuan atau massa yang dimiliki benda itu juga sangat menentukan. Makin kecil ukuran dan makin lambat geraknya, berarti makin mudah batuan tersebut terjebak gravitasi Bumi.
Namun karena ukuran yang lebih kecil, batuan itu juga mudah terpengaruh gaya gravitasi benda-benda langit yang lebih besar. Planet, satelit, ataupun asteroid lain bisa menjadi penahan agar batuan tersebut tak terjebak gravitasi Bumi atau justru menjadi pendorongnya untuk masuk lingkungan Bumi.
Masuknya batuan antariksa ke atmosfer Bumi juga tidak selalu menimbulkan dampak bagi manusia.
Bumi memiliki atmosfer tebal dengan kerapatan bervariasi. Kerapatannya makin tinggi di permukaan Bumi. Partikel di atmosfer Bumi itu menggesek batuan yang masuk hingga sebagian besar habis terbakar. Tanpa atmosfer, wajah Bumi akan penuh kawah dan lubang seperti Bulan akibat hantaman asteroid.
Batuan yang habis terbakar itu biasanya berukuran beberapa mikrometer hingga beberapa sentimeter. Batuan inilah yang terlihat sebagai meteor atau bintang jatuh yang selalu terlihat setiap malam.
Kalaupun tidak habis terbakar, meteor tersebut juga belum tentu membahayakan manusia seperti yang terjadi di Chelyabinsk. Meteor tersebut dapat jatuh di laut. Terlebih lagi, dua pertiga wilayah Bumi adalah laut. ”Jika jatuh di laut dalam ukuran besar, meteor ini bisa memicu tsunami,” ujar Budi.
Selain itu, meteor dapat juga jatuh di gurun, hutan, danau, atau daerah lain yang tidak berpenghuni.
Berdasarkan data Masyarakat Meteorit (Meteoritical Society), ada 34.513 meteorit (meteor yang masih tersisa saat jatuh di permukaan Bumi) yang tercatat sejak tahun 2.300 sebelum Masehi. Data tersebut bersumber dari temuan batu meteorit atau kawah yang tercipta akibat tumbukan meteor.
Gelombang kejut
Menurut Djamaluddin, ketika memasuki atmosfer Bumi, pada ketinggian 120 kilometer (km) dari muka Bumi, batuan antariksa tersebut mulai terbakar akibat bergesekan dengan partikel atmosfer. Pada saat itu, pecah tidaknya meteor sangat bergantung pada komposisinya. Batuan dengan kandungan logam yang tinggi akan lebih tahan dengan perubahan suhu yang terjadi hingga meteor tidak mudah pecah.
Pada ketinggian 20-30 km dari muka Bumi, gesekan dengan partikel udara yang makin rapat dan kecepatannya meteor yang semakin tinggi, menimbulkan gelombang kejut. Gelombang kejut inilah yang menghancurkan kaca-kaca jendela bangunan di Chelyabinsk, bukan akibat pecahan meteornya.
Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia memperkirakan kecepatan meteor di Chelyabinsk saat memasuki atmosfer Bumi minimal 54.000 kilometer per detik. Sementara itu, sejumlah sumber menyebut kecepatan meteor saat akan menghantam Bumi berkisar 20-30 km per detik atau 70.000-100.000 km per jam. Kecepatan yang jauh lebih besar dari kecepatan suara itu menimbulkan dentuman sonik yang terdengar seperti ledakan.
”Ledakan yang didengar masyarakat itu bukan suara meteor menghantam tanah, tapi akibat sonic boom (dentuman sonik) yang ditimbulkannya,” katanya.
Ia juga menambahkan, ”Munculnya korban dan kerusakan di Chelyabinsk bukan akibat langsung dari jatuhnya meteor, melainkan akibat dampak yang ditimbulkan saat meteor tersebut mendekati permukaan Bumi.”
Jatuhnya meteor berbobot 10.000 ton (lebih dari muatan 1.000 truk) itu di luar perkiraan. Meski sejumlah lembaga penerbangan dan antariksa memiliki program patroli langit untuk memantau benda-benda asing yang berpotensi membahayakan Bumi, masuknya batuan antariksa berukuran 17 meter itu sulit dideteksi.
”Obyek berukuran belasan meter biasanya baru terdeteksi setelah mendekati Bumi. Ukurannya yang sangat kecil membuatnya sangat redup,” kata Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Minggu (17/2/2013). Kalaupun teridentifikasi, biasanya karena kebetulan.
Dosen Dinamika Benda Kecil dalam Tata Surya, Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Dermawan menambahkan, teleskop yang digunakan untuk patroli langit biasanya berdiameter 1-2 meter. Melalui teleskop sebesar itu, kemampuan mendeteksi benda berukuran belasan meter sangat sulit.
Meski demikian, para ahli memastikan meteor yang jatuh di Chelyabinsk dan asteroid 2012 DA14 adalah dua benda langit berbeda. Meteor di Chelyabinsk bukan pecahan asteroid 2012 DA14.
Jalur orbit kedua benda itu berbeda. Asteroid 2012 DA14 bergerak dari langit selatan ke langit utara atau dari bawah Bumi ke bagian atas Bumi. Adapun, lintasan meteor pada permukaan Bumi dari langit utara ke selatan. ”Jika meteor di Chelyabinsk adalah pecahan asteroid 2012 DA14, lintasannya harus sama,” ujar Djamaluddin.
Selain itu, jatuhnya pecahan asteroid harus sesudah asteroid itu melintas di dekat Bumi. Tidak mungkin pecahan jatuh lebih mendahului asteroid induknya.
Melimpah
Dibandingkan dengan asteroid 2012 DA14 yang berdiameter 45 meter, ukuran meteor yang jatuh di Rusia hanya kurang dari sepertiganya.
Meteor ukuran serupa pernah jatuh di langit Bone, Sulawesi Selatan, 8 Oktober 2009. ”Namun, meteor ini jatuh di laut (Teluk Bone),” kata Peter Brown, Direktur Pusat Sains dan Eksplorasi Keplanetan, Universitas Ontario Barat, Kanada seperti dikutip Space.com, Sabtu (16/2/2013).
Tak ada data pasti berapa banyak asteroid di sekitar Bumi yang berpotensi mengancam kehidupan di Bumi. Makin kecil ukurannya, jumlahnya makin besar dan makin banyak yang tidak diketahui.
Djamaluddin memperkirakan, jumlah batuan angkasa berukuran belasan meter mencapai jutaan buah. Kemungkinan batu ukuran ini melintas dekat Bumi dan masuk atmosfer Bumi, sangat tinggi.
Sementara itu, asteroid berukuran 40-50 meter seperti yang jatuh di Tunguska, Siberia, Rusia, pada 30 Juni 1908, jumlahnya mencapai ratusan ribu buah. Kemungkinan melintas dekat Bumi sekitar 40 tahun sekali dan kemungkinan menumbuk Bumi 1.200 tahun sekali.
Asteroid berukuran lebih dari 1 kilometer, sebanyak 90-95 persennya sudah diketahui keberadaannya. Adapun asteroid berdiameter puluhan meter hanya sekitar 2 persen yang sudah diketahui.
Relatif aman
Bahan dasar meteor adalah batuan di sekitar Bumi yang berasal dari asteroid, komet, ataupun pecahan keduanya. Benda-benda langit itu merupakan materi sisa-sisa pembentukan tata surya 4,5 miliar tahun yang lalu. Bersama Bumi, batuan tersebut bergerak mengelilingi Matahari.
Walau jumlah batuan, asteroid, komet atau pecahannya melimpah, tak selalu terjerat gaya gravitasi Bumi hingga masuk ke atmosfer Bumi. Salah satu pencegah sehingga benda tersebut tidak jatuh ke Bumi adalah kecepatan geraknya.
Budi menambahkan, ukuran batuan atau massa yang dimiliki benda itu juga sangat menentukan. Makin kecil ukuran dan makin lambat geraknya, berarti makin mudah batuan tersebut terjebak gravitasi Bumi.
Namun karena ukuran yang lebih kecil, batuan itu juga mudah terpengaruh gaya gravitasi benda-benda langit yang lebih besar. Planet, satelit, ataupun asteroid lain bisa menjadi penahan agar batuan tersebut tak terjebak gravitasi Bumi atau justru menjadi pendorongnya untuk masuk lingkungan Bumi.
Masuknya batuan antariksa ke atmosfer Bumi juga tidak selalu menimbulkan dampak bagi manusia.
Bumi memiliki atmosfer tebal dengan kerapatan bervariasi. Kerapatannya makin tinggi di permukaan Bumi. Partikel di atmosfer Bumi itu menggesek batuan yang masuk hingga sebagian besar habis terbakar. Tanpa atmosfer, wajah Bumi akan penuh kawah dan lubang seperti Bulan akibat hantaman asteroid.
Batuan yang habis terbakar itu biasanya berukuran beberapa mikrometer hingga beberapa sentimeter. Batuan inilah yang terlihat sebagai meteor atau bintang jatuh yang selalu terlihat setiap malam.
Kalaupun tidak habis terbakar, meteor tersebut juga belum tentu membahayakan manusia seperti yang terjadi di Chelyabinsk. Meteor tersebut dapat jatuh di laut. Terlebih lagi, dua pertiga wilayah Bumi adalah laut. ”Jika jatuh di laut dalam ukuran besar, meteor ini bisa memicu tsunami,” ujar Budi.
Selain itu, meteor dapat juga jatuh di gurun, hutan, danau, atau daerah lain yang tidak berpenghuni.
Berdasarkan data Masyarakat Meteorit (Meteoritical Society), ada 34.513 meteorit (meteor yang masih tersisa saat jatuh di permukaan Bumi) yang tercatat sejak tahun 2.300 sebelum Masehi. Data tersebut bersumber dari temuan batu meteorit atau kawah yang tercipta akibat tumbukan meteor.
Gelombang kejut
Menurut Djamaluddin, ketika memasuki atmosfer Bumi, pada ketinggian 120 kilometer (km) dari muka Bumi, batuan antariksa tersebut mulai terbakar akibat bergesekan dengan partikel atmosfer. Pada saat itu, pecah tidaknya meteor sangat bergantung pada komposisinya. Batuan dengan kandungan logam yang tinggi akan lebih tahan dengan perubahan suhu yang terjadi hingga meteor tidak mudah pecah.
Pada ketinggian 20-30 km dari muka Bumi, gesekan dengan partikel udara yang makin rapat dan kecepatannya meteor yang semakin tinggi, menimbulkan gelombang kejut. Gelombang kejut inilah yang menghancurkan kaca-kaca jendela bangunan di Chelyabinsk, bukan akibat pecahan meteornya.
Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia memperkirakan kecepatan meteor di Chelyabinsk saat memasuki atmosfer Bumi minimal 54.000 kilometer per detik. Sementara itu, sejumlah sumber menyebut kecepatan meteor saat akan menghantam Bumi berkisar 20-30 km per detik atau 70.000-100.000 km per jam. Kecepatan yang jauh lebih besar dari kecepatan suara itu menimbulkan dentuman sonik yang terdengar seperti ledakan.
”Ledakan yang didengar masyarakat itu bukan suara meteor menghantam tanah, tapi akibat sonic boom (dentuman sonik) yang ditimbulkannya,” katanya.
Ia juga menambahkan, ”Munculnya korban dan kerusakan di Chelyabinsk bukan akibat langsung dari jatuhnya meteor, melainkan akibat dampak yang ditimbulkan saat meteor tersebut mendekati permukaan Bumi.”
Sumber: Kompas.com
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan editorial redaksi Astronesia. Redaksi berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.